Letnan Jenderal TNI Anumerta R.
Suprapto (lahir di Purwokerto, Jawa Tengah, 20
Juni 1920 – meninggal di Lubangbuaya, Jakarta, 1
Oktober 1965 pada umur 45 tahun) adalah seorang pahlawan
nasional Indonesia. Ia merupakan salah satu korban dalam G30SPKI dan
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Suprapto yang lahir di Purwokerto, 20 Juni 1920, ini
boleh dibilang hampir seusia dengan Panglima Besar Sudirman. Usianya hanya
terpaut empat tahun lebih muda dari sang Panglima Besar. Pendidikan formalnya
setelah tamat MULO (setingkat SLTP) adalah AMS (setingkat SMU) Bagian B di
Yogyakarta yang diselesaikannya pada tahun 1941.
Sekitar tahun itu pemerintah Hindia Belanda
mengumumkan milisi sehubungan dengan pecahnya Perang Dunia Kedua. Ketika itulah
ia memasuki pendidikan militer pada Koninklijke Militaire Akademie di Bandung.
Pendidikan ini tidak bisa diselesaikannya sampai tamat karena pasukan Jepang
sudah keburu mendarat di Indonesia. Oleh Jepang, ia ditawan dan dipenjarakan,
tapi kemudian ia berhasil melarikan diri.
Selepas pelariannya dari penjara, ia mengisi waktunya
dengan mengikuti kursus Pusat Latihan Pemuda, latihan keibodan, seinendan, dan
syuisyintai. Dan setelah itu, ia bekerja di Kantor Pendidikan Masyarakat.
Di awal kemerdekaan, ia merupakan salah seorang yang
turut serta berjuang dan berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap.
Selepas itu, ia kemudian masuk menjadi anggota Tentara Keamanan Rakyat di
Purwokerto. Itulah awal dirinya secara resmi masuk sebagai tentara, sebab
sebelumnya walaupun ia ikut dalam perjuangan melawan tentara Jepang seperti di
Cilacap, namun perjuangan itu hanyalah sebagai perjuangan rakyat yang dilakukan
oleh rakyat Indonesia pada umumnya.
Selama di Tentara Keamanan Rakyat (TKR), ia
mencatatkan sejarah dengan ikut menjadi salah satu yang turut dalam pertempuran
di Ambarawa melawan tentara Inggris. Ketika itu, pasukannya dipimpin langsung
oleh Panglima Besar Sudirman. Ia juga salah satu yang pernah menjadi ajudan
dari Panglima Besar tersebut.
Setelah Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan, ia
sering berpindah tugas. Pertama-tama ia ditugaskan sebagai Kepala Staf Tentara
dan Teritorial (T&T) IV/ Diponegoro di Semarang. Dari Semarang ia kemudian
ditarik ke Jakarta menjadi Staf Angkatan Darat, kemudian ke Kementerian
Pertahanan. Dan setelah pemberontakan PRRI/Permesta padam, ia diangkat menjadi
Deputy Kepala Staf Angkatan Darat untuk wilayah Sumatera yang bermarkas di
Medan. Selama di Medan tugasnya sangat berat sebab harus menjaga agar
pemberontakan seperti sebelumnya tidak terulang lagi.
0 komentar:
Posting Komentar