Pasca
pembunuhan beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi
vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan
Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui
RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan
kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta
terhadap pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai
oleh Letkol Untung Sutopo.
Di
Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel Katamso
(Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem
072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua
perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan
Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris
jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para
"pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara
Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada
tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan
"persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan
para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI
segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung
"pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata.
Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".
Pada tanggal 12 Oktober 1965,
pemimpin-pemimpin Uni-Soviet Brezhnev , Mikoyan dan Kosygin mengirim
pesan khusus untuk Soekarno : "Kita dan rekan - rekan kita bergembira
untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik. Kita mendengar dengan penuh
minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap
tenang dan menghindari kekacauan. Imbauan ini akan dimengerti secara
mendalam."
Pada tanggal 16
Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima
Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden
Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah:
“
|
Saya
perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat
pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan
dari pada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia
yang sama sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri
di atas Trisakti, yang sama sekali berdiri di atas Nasakom, yang sama sekali
berdiri di atas prinsip Berdikari, yang sama sekali berdiri atas prinsip
Manipol-USDEK.
Manipol-USDEK
telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan negara
Republik Indonesia. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah haluan daripada
negara Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan,
dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara,
Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau kita berdiri benar-benar di atas
Panca Azimat ini, kita semuanya, maka barulah revousi kita bisa jaya.
Soeharto,
sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku, saya
perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu dengan
sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta kita dan beserta engkau!
|
”
|
Dalam
sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari
1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk
menghindari pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh
sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka
mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi
pada tanggal 11 Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas
usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan
negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan
Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner
apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung
mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia."
0 komentar:
Posting Komentar